dan inilah.... KRONOLOGIS Matahari Di Atas Gilli

~ Lelaki berambut panjang ~

Sembilan tahun yang lalu, di bulan April yang cerah, seseorang lelaki berambut panjang mengajakku menyeberangi sebuah pulau – yang terletak di sebelah timur Kota Probolinggo. Dan siang itu – di hari ulang tahunku – aku mengalami sebuah pengalaman yang paling indah diantara seluruh memoar hidupku. Saat menyaksikan keleluasaan langit yang membentang di atas kepalaku, fantasiku bergerak sesuai kata hatiku, bahwa pulau itu pastilah bagian wilayah utopis yang abadi dengan keindahan dan kenyaman.
Diatas perahu, aku melihat wajah lelaki berambut panjang yang duduk membeku di sampingku, seperti sebuah muara yang dingin, tak bergeming memandang lautan luas, dan tanpa senyum. Namun demikian penyeberangan hari itu, membuatku bahagia.
Selama empat puluh lima menit terayun di atas gelombang ombak, perahu kayu mulai menepi dan bersandar di dermaga. Di hadapanku, membujur dataran pipih berwarna putih, dan hampir tak terdapati tumbuhan menghijau di sana. Gersang!
“Pulau apa ini?” tanyaku pada lelaki berambut panjang itu, sambil melompat dari perahu ke atas dermaga.“Gilli!” jawabnya singkat, tanpa memandang kearahku.
Keningku berkerut. Aku tak mengerti. Mengapa ia sangat berbeda hari ini? Pikirku, sambil setengah berlari berusaha mengejar lelaki itu yang berjalan cepat di depanku. Dan ketika aku berhasil menyamai langkahnya, aku menatap lelaki itu. Tetapi ia tetap beku. Ia justru melangkah lebih cepat dari yang kuduga, dan aku tak dapat lagi untuk menerjemahkan bahasa roman wajahnya yang asing pada siang yang terik ini. Dengan penuh pertanyaan, tak ada pilihan untukku, selain mengikuti langkahnya. Kenapa ia begitu dingin justru pada hari istimewa ini? Semestinya ia harus berlaku baik padaku! Aku mengangkat bahu, dan tak mengerti.
Di sisi kiri dermaga, diantara ombak yang berdeburan, aku melihat sebuah pemandangan yang menggetarkan. Aku terkesima. Sekelompok anak laki-laki menyembul keluar dari dalam lautan. Dan mereka berteriak kearahku.
“Hoooeee!!!”
Seketika langkahku berhenti. Aku terdiam. Aku terpana menyaksikan sejenis ikan besar yang masih menggelepar-gelepar di kedua tangan mereka masing-masing. Bagaimana cara mereka menangkapnya? Pikirku. Aku berniat berjalan mendekat ke arah mereka, tetapi dengan gerakan cepat, lelaki berambut panjang menarik tanganku, dan memintaku mengikuti langkahnya kembali. Tentu, itu merupakan sebuah sikap yan berlawanan dengan keinginanku. Aku pun mulai merasa terganggu dengan sikap lelaki berambut panjang itu yang tak seperti biasanya. Dan perubahan sikapnya yang asing itu justru muncul pada hari istimewaku. Uuh!
Sebelum menjauh, aku melambai dan memberi salam kepada sekelompok anak pantai itu. Aku bahagia, saat menangkap suara bening tawa mereka yang ramah. Aku sempat melihat gelombang heroik yang terdapat pada wajah mereka, saat mereka berlompatan kembali di udara, kemudian menghilang di pelukan ombak. Luar biasa! Pikirku.
Saat menapakkan kakiku yang pertama kalinya di daratan pulau kecil ini, aku bertanya kembali kepada lelaki berambut panjang itu.
“Apakah kau sudah pernah kemari, sebelum kehadiran kita sekarang?”
Dan tanpa mempedulikan pertanyaanku, lelaki itu justru berkata “Kau akan merasa senang tinggal di sini”
“Tinggal disini?” Tanyaku menatap tajam ke arah dirinya.
Lelaki itu mengangguk memastikan, sambil menatap dalam ke arahku. Dan makna tatapan itu, seakan-akan ia harapkan menjadi sebuah tonik yang secara otomatis dapat melegakan, dan menentramkan keraguan yang terpancar di mataku. Tetapi, rupanya, ia keliru! Aku menyimpulkan dengan agak enggan, aku justru mulai merasakan adanya penolakkan dari bagian tubuhku, ketika tercium hawa yodium yang bercampur dengan berbagai aroma: ikan, ganggan laut, pasir basah, dan keringat orang-orang yuang mulai berdatangan mengerumuni kami. Ini ide gila! Pikirku. Tanpa mempedulikan dirinya yang sedang berbicara dengan orang-orang Gilli, aku bertanya dengan suara keras.
“Aku tak tinggal di sini! Dan aku ingin kita pulang sebelum hari gelap” Aku sadar, pertanyaanku merupakan sebuah hal yang tak masuk akal. Karena kedatanganku di pulau ini, belum lebih dari dua jam yang lalu.
“Kita menginap!” jawabnya tegas. Aku mendengar intonasi suaranya yang kasar, pada wajahnya yang memerah. Aku hampir menangis, menerima keputusan yang sepihak itu. Dan aku semakin tahu, ia benar-benar tak peduli denganku. Ia meneruskan kembali pembicaraannya dengan orang-orang Gilli. Aku melihat mereka, terlibat dalam pembicaraan yang kian lama kian akrab. Meskipun ku tahu, mereka menggunakan bahasa tubuh yang menggelikan.
Untuk menghilang kekecewaanku, aku menjauh dari mereka, dan menyusuri pantai yang bersih. Pada saat itu, aku melihat sekelompok burung besar mengembangkan sayangnya. Leher mereka panjang, dan biru. Mereka membentuk formasi simetri, dan terbang rendah dari permukaan laut. Memandang jauh ke langit, aku memerlukan waktu sejenak demi sejenak untuk menerjemahkan keindahan pemandangan logis warna-warna yang tercoret di atas sana. Sore itu, warna-warna merah dadu, kuning, dan violet yang membias di langit, seperti sekumpulan zat warna yang sengaja di tuangkan di atas kanvas oleh pelukisnya.
Saat warna langit semakin menua oleh kegelapan, seorang lelaki – penduduk Gilli – mengajak kami meninggalkan tepian. Aku dan lelaki berambut panjang berjalan di belakang tubuh lelaki Gilli itu, tetapi di sekeliling kami sekelompok anak-anak, orang-orang dewasa mengikuti kami, dengan suara tawa dan pembincangan yang tak ku mengerti bahasanya. Tak seberapa lama setelah kami berjalan beriringan, tanpa aku sadari, aku telah berada di jalan sempit yang berliku-liku, diantara dinding rumah-rumah penduduk yang penuh dengan jala, yang membentang.
Sesampai di Ujung Pulau, kami berjalan beriringan menuju ke sebuah pondok yang atapnya berbentuk kerucut, yang penuh dengan rumbai-rumbai jerami kering. Di pondok itulah, orang-orang Gilli itu meninggalkan kami. Sesaat aku merasa lega, memandang ke sekeliling. Aku seperti berada di ruang terbuka dengan udara yang leluasa, setelah mengalami adaptasi yang mencemaskan dengan lingkungan baru: sebuah pengalaman asing di sepanjang hidupku. Salah satu yang paling sulit, pada kehadiranku di Pulau ini, ialah aku tak dapat bebas berbicara dengan bahasaku: yang seharusnya merupakan bahasa mereka pula. Mereka tak mengerti Bahasa Jndonesia, dan aku pun tak dapat mengerti bahasa mereka – Bahasa Madura. Tentu, itu sebuah hal yang menyedihkan di sepanjang pengetahuanku sebagai anak bangsa ini.
Pada saat malam datang, dan bulan membundar di balik pepohonan, pondok yang tempati serta suasana hatiku, tiba-tiba senyawa. Gelap, dan sunyi! Tak ada lampu penerangan yang bisa di nyalakan, selain damar kecil di sudut dinding. Tak ada pula perbincangan anatara diriku, dan lelaki berambut panjang itu. Sekian jam sejak kehadiranku di pulau ini, perasaanku telah membeku untuknya. Dan beberapa saat yang lalu, lelaki itu telah meninggalkan aku sendiri, di pondok ini. Aku kecewa!
Duduk sendirian memandangi bulan, perasaanku semakin nyeri. Dan aku, aku menjadi tak siap melewati dan mengakhiri hari ini: sebuah hari ulang yang menyeramkan, untukku. Terasing dari keramaian. Jauh dari orang-orang yang dekat dalam hidupku.
Malangnya, hingga malam semakin larut, aku melewati hari ulang tahun tanpa satupun orang yang memberi ucapan “selamat”. Aku berpikir, pastilah segera hilang saat-saat bahagia yang aku impikan terjadi, di hari ini.
Aku melihat semua pucuk-pucuk pohon akasia bergoyang, meliuk-liuk seperti hatiku. Disini, di pulau kecil ini, aku tidak seperti orang lain yang tahu secara instingtif bagaimana cara membuat diri sendiri bahagia. Aku benar tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga aku merasa seperti di kutuk oleh kuasa kesepian – untuk diam, dan tak bergerak. Betapa ironisnya hari ini, untukku! Pikirku. Dan selama berjam-jam aku memandang langit yang hitam, tanpa bintang. Terkadang suara binatang malam pun seperti menusuk perasaanku. Saat itu, aku merasa, seolah-olah aku sedang berada di planet lain, tanpa penghuni, dan tanpa manusia. Aku sendirian. Sambil memeluk tas punggungku, aku bertanya pada diriku sendiri: untuk apa aku harus hadir di pulau ini justru pada hari ulang tahunku ini? Dan mengapa aku harus menerima ajakan lelaki berambut panjang itu?
Saat angin berhembus kencang, dan terdengar ombak berdeburan di lautan, suasana di sekelilingku kian asing, dan menakutkan. Tak ada pilihan yang dapat menahan rasa emosionalku selain semakin membenamkan wajahku pada tas ransel, kemudian membebaskan perasaanku untuk menangis.
Entah berapa lama aku dalam posisi demikian, dan aku mengakhirinya dengan mengangkat wajahku, saat terdengar orang berkata-kata di kejauhan. Meskipun, aku ragu untuk memastikan pikiranku yang di penuhi pertanyaan, mengapa orang yang sedang berbicara itu, seolah berbicara sendiri dan berteriak-teriak di malam gelap. Di hadapanku, aku tak melihat apapun selain bayang-bayang malam yang kian rapat oleh kegelapan. Tetapi, mendadak mulutku terasa kering, dan jantungku berdebar kencang, ketika terlihat sebuah cahaya bergerak perlahan ke arah pondok, ke tempatku. Aku mulai ketakutan.
Semua terjadi dalam sekejab, dan aku merasa kengerian yang kurasakan mulai menyurut, tatkala aku semakin dapat memastikan bahwa suara pembicaraan orang itu semakin jelas. Dan dalam jarak yang tak jauh, aku mendengar intonasi setiap kata yang di ucapkan kian teratur, dan kian kukenali. Perlahan-lahan aku berdiri, ketika baying-bayang wajah seseorang di balik cahaya api itu semakin jelas. Dia, lelaki berambut panjang itu, memegang obor – api yang di sulut di bamboo – sambil berjalan dan membaca sebuah puisi.
Setelah ku tempuh perjalanan yang tak kukenal rimbanya
Air mata berbulu api, memang benar sedang menjadi hujan
Ada yang ingin kutahu
Bagaimanakah pohon istighfarku?
Sudah lama tak pernah kujaga
Rumbai-rumbai kesombongan sempoyongan di muka angin
Yang berkacak pinggang
Membuaku menunggu daun-daun yang jatuh
Bayarangkali di sana ada takdir
Yang ingin berucap salam
Apa kabar kekasih…
“Itu puisiku!” pekikku.
“Selamat hari ulang tahun, Lintang!” teriak lelaki berambut panjang itu, sangat dramatis. Tepat di depanku, ia merentangkan kedua tangannya. Seolah menungguku datang mendekatinya.
Aku tak dapat melukis secara pasti, apa yang ada didalam benakku. Tetapi menyaksikan senyumnya yang mengembang, di wajahnya yang memerah, aku merasakan, tubuhku seperti molusha – makhluk laut yang sangat rentan dan membutuhkan kerang tebal agar dapat berlindung dan tetap bertahan hidup. Dan di depanku, dialah kerang tebal itu. Aku pun berlari ke arahnya, dan menangis di dalam dadanya.
“Kenapa menangis?” tanyanya lembut.
Aku menggeleng, karena tak dapat menerjemahkan keharuan atas kejutan yang di lakukannya untukku pada hari ini.
“Kau tahu, aku telah lama mencari Pulau Gilli ini, sebagai hadiah ulang tahunmu” ucapnya, sambil mendongakkan wajahku.
“Hadiah?” tanyaku tak mengerti.
Lelaki berambut panjang itu mengangguk.
“Maksudmu?”
“Suatu saat nanti, kau akan tahu, Lintang”
Dan angin berhembus lembut di sekitar kami. Meskipun malam benar-benar berlalu, aku belum juga mengerti, mengapa ia menghadiahkan pulau ini untukku.

Bekasi, Lintang Sugianto

No comments:

Post a Comment