anak kecil itu dengan pesawatnya


Selamat malam tuan…
Diluar, seorang anak kecil yang lupa asal-usulnya ingin berjumpa
Bolehkah ia masuk kedalam ruangan hatimu
Ia tak lagi bertanah air, tuan
Sebab kebun-kebun moral telah menjadi siasat atas nama bencana-bencana yang bersusul-susulan.
Ia terus menatap langit, tuan
Dan jangan katakan kau sudah membalut lukanya
Sebab pesawat pertama yang terbuat dari gelang-gelang emas leluhurnya itu, selalu membuat perutnya semakin membusung mengandung murka
Ia terus merintih dan siap melahirkan ,tuan
Ia hanya ingin mawar putih kesukaan ibunya di serahkan
Karena kebun-kebun norma telah hangus sejak tuan duduk disini.
Sejak berlakunya jam malam bagi kota itu
Sejak senjata-senjata menggertak kota itu
Sejak ia tahu, ia lahir dari hasil pemerkosaan itu
Selamat malam tuan
Diluar, seorang anak kecil yang lupa asal-usulnya ingin berjumpa
Bangunlah…
Nyalakan lampu ruangan hatimu
Sebab rencong telah ditangannya


Lintang Sugianto

Lintang Sugianto - Memperkaya Bahasa Jiwa - wawancara dengan Prespektif Baru Edisi 538 03 Jul 2006 Cetak Artikel Ini

Halo pembaca, saya Jaleswari Pramodhawardani kembali menemani Anda bersama tamu kita kali ini Lintang Sugianto. Dia seorang novelis dan penyair yang telah melahirkan beberapa karya yang akan kita bedah bersama. Menurut Lintang, puisi adalah bahasa jiwa. Jadi bukan hanya seorang sastrawan atau budayawan saja yang bisa menulis puisi. Semua bisa menulis puisi. Ketika manusia memakai bahasa jiwanya, maka jauh dari manipulasi, kepalsuan, ketidakjujuran. Saat ini kita miskin bahasa jiwa. Kita lebih cenderung memakai bahasa pikiran kita, bukan memakai bahasa hati kita. Kita sering menipu diri kita sendiri hanya karena keinginan dan sebagainya. Tapi ketika kita menulis puisi, Lintang percaya betul orang tidak akan bisa menipu diri. Lintang menginginkan sekali bahasa jiwa ini menjadi bahasa dunia atau bahasa nasional. Pasti kita tidak akan pernah terjadi peperangan dan segala macam. Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Lintang Sugianto.

Saya telah membaca beberapa karya Anda paling tidak dua karya Anda yaitu novel Matahari di Atas Gilli, dan kumpulan puisi dengan judul Ku Sampaikan. Anda mungkin bisa bercerita tentang kedua karya ini.

Pertama, saya mungkin mau cerita sedikit tentang Matahari di Atas Gilli. Sebenarnya saya justru berangkat dari dunia penyairan artinya penulisan puisi. Ketika saya menyadari puisi susah sekali diterima oleh penerbit dan memang di negara kita sedang tidak bagus sekali. Artinya, posisi puisi sangat di bawah. Jadi saya memaklumi ketika penerbit-penerbit susah sekali menerima itu sehingga saya juga tidak enak hati kalau mengatakan bahwa apakah Matahari di Atas Gilli sebagai batu lompatan atau semacamnya.

Apakah Anda lebih dulu lahir sebagai penyair atau novelis?

Tadinya saya seorang penyair dan sebut saja saya sebagai penulis puisi. Tapi mau tidak mau saya harus mengikuti aturan yang sudah ada untuk menulis novel.
Pembaca, buku atau novel Matahari di Atas Gilli dan kumpulan puisi Kusampaikan ada kata pengantar dari WS. Rendra. Ada salah satu kalimat dari WS. Rendra yang menarik bahwa kemampuan Lintang adalah bagaimana pemaparannya kaya dengan metafor-metafor dan itu jarang sekali dimiliki oleh para novelis kita yang lebih ke pemaparan ide dan gagasan.

Bagaimana Anda melihat kelahiran novel tersebut?

Kelahiran novel tersebut sebenarnya melalui pengkristalan atau pengendapan yang cukup panjang. Saya tertarik dengan cerita tersebut. Lalu mengapa harus Madura? Saya jatuh cinta dengan Madura, saya jatuh cinta sekali. Mungkin saya akan jatuh cinta lagi dengan etnik, suku, daerah-daerah orang yang seperti itu. Hanya mungkin sekarang ini saya sedang jatuh cinta saja dengan Madura. Menurut saya, Madura unik baik pribadinya, kekerasannya, watak, karakter, maupun lokasi, budaya, dan latar belakang. Mereka mempunyai ciri khas yang berbeda walaupun terkadang kekolotan mereka atau cara pandang mereka yang sempit itu indah dan unik sekali buat saya bila dibandingkan suku Jawa. Mungkin suku Jawa lebih lentur untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang lain tapi Madura tidak. Bahkan mereka tidak mau pindah pada area tersebut.


Jadi, seperti Anda katakan tadi, Madura ternyata punya eksotik tersendiri bukan hanya Bali, Lombok dan sebagainya. Apakah Anda memang sengaja memilih lokasi di Madura sebagai salah satu novel Anda yang pertama?

Awalnya sebuah faktor yang tidak disengaja tapi akhirnya menjadi sengaja. Ketika saya observasi di sana dengan sekian bulan berada di pulau kecil itu, saya pelan-pelan melihat ada satu hal yang harus saya angkat. Jadi awalnya memang sebuah hal yang tidak disengaja tapi menjadi sebuah kesengajaan. Kemudian saya juga ingin mengatakan bahwa budaya Indonesia itu luar biasa walaupun saya tidak tahu apakah saya dijajaran pertama atau bukan, atau ini bukan sebuah barisan. Saya ingin seluruh penulis yang ada menulis tentang Indonesia. Saya menganggap bahwa banyak hal yang bisa kita bedah di kepulauan kita yang beraneka ragam ini. Jadi saya merasa bahwa di sini imajinasi kita tidak cukup habis.

Kapan Anda mulai menulis atau katakanlah buku Anda dipublikasikan?

Tahun 2004.

Jadi kurang lebih dua, tiga tahun sebelumnya hadir juga Rieke Dyah Pitaloka kemudian Dewi Lestari dan penulis muda perempuan lainnya. Saya melihat gegap gempitan kemunculan novelis-novelis penulis perempuan-perempuan muda ini. Tapi mengapa kemunculan Anda baru akhir-akhir ini terlihat terutama oleh saya padahal dari beberapa penulis ini pun membawakan puisi-puisi Anda di satu momen-momen tertentu?

Saya kagum dengan falsafah Bali yang saya pelajari ketika di Bali. Untuk mengatakan tidak suka dengan budaya atau karya-karya yang dinilai tidak bagus, mereka tidak menggunakan kata-kata. Mereka membalas dengan sebuah karya yang lebih bagus. Jadi mereka mengcounter. Karya dibalas karya. Jadi tidak dengan kata-kata tetapi dengan lakuan. Itu yang saya kagumi dan saya pegang benar.

Apakah Anda tidak setuju dengan karya-karya yang lainnya?

Saya bukan tidak setuju. Saya tidak pernah tidak setuju, tetapi saya merasa bahwa ada hal yang seharusnya kita tidak wajib untuk mengatakan hitam, putih, kiri, kanan, seperti apakah perempuan harus bicara tentang bahasa tubuh perempuannya, apakah itu harus dilucuti. Sepertinya tidak. Kita harus melihat dari segala sisi. Jadi kita tidak bisa seperti jika hitam, kita harus bilang hitam sesuai dengan kacamata kita.

dengan kata lain bahwa sebetulnya bicara tentang perempuan itu bukan persoalan ketubuhan itu saja?

Tidak, anugerah yang diberikan oleh kita sungguh sangat luar biasa. Bahkan kita diam pun, tubuh kita pun sudah berbahasa sendiri. Sekalipun kita sudah tutup mata sebenarnya kita sudah berbicara, jadi sangat luar biasa sekali kalau misalnya kita memakainya tidak memanfaatkan itu. Jadi ini bukan sebuah pemanfaatan dalam bentuk berbahasa atau segala macam, ada yang lebih hal lain yang kita bisa ungkapkan. Bukankah seorang perempuan juga bisa bicara tentang dunia laki-laki atau yang biasanya diungkapkan oleh seorang laki-laki.

Buku Matahari di Atas Gilli ini bicara tentang perempuan. Perempuan seperti apa yang Anda tampilkan di Novel tersebut?

Ya, di situ ada Suhada, tetapi dia bukan sebagai pelakon utama. Jadi di situ tidak ada start-nya. Semuanya tokoh, tidak ada black and white, atau kanan kiri bahkan mungkin sedang dalam revisi. Menurut saya, semua karakter di sana yang di dalam revisi ini adalah semua berpengaruh di Atas Gilli.

Ini sebenarnya sangat menarik. Kebetulan saya hanya berhenti pada penikmat. Tapi apakah suatu kelaziman sebuah novel melakukan revisi? Konon kabarnya, sebuah novel adalah sebuah karya yang sebetulnya mewakili gegap gempitanya perasaan, emosi penulisnya saat itu juga. Anda mungkin bisa menjelaskan mengapa sebuah novel direvisi?

Selagi itu untuk kebaikan, saya rasa masih sah-sah saja. Dalam arti, setelah ia membuat suatu keputusan dari peristiwa demi peristiwa. Yang saya maksud peristiwa demi peristiwa adalah ketika pembaca karya kita memintanya dan kemudian kita juga membuat penilaian sendiri atau berkesimpulan sendiri bahwa banyak hal memang yang belum saya ungkapkan di sana. Jadi karena setting daripada Matahari di Atas Gilli ini memang nyata dan sampai sekarang ada, maka saya mempunyai kewajiban untuk mengantarkan yang lebih jelas.

Ini lebih soal kedalaman. Apakah untuk plot atau segala macamnya tidak berubah?

Berubah, hanya alur ceritanya tidak diubah. Suhada tetap mati, Suamar tetap mati. Saya tidak berusaha untuk mengubah isi cerita, hanya saya lebih menekankan bagaimanakah kelahiran pulau itu, apa yang membuat laut di sana berbeda dengan laut yang ada di sini. Kemudian tidak semudah itu, menurut saya, Suhada tiba-tiba berada di Gilli dan sudah mendapatkan bagaimana seorang merayu anak-anak yang susah diajar dari awal. Settingnya tidak sederhana itu. Jadi Suhada harus mencari ranting untuk menuliskan A, B, C, D, E, F, G, dan segala macamnya untuk merayu anak-anak agar mengerti.

Jadi ini ditingkatkan lebih detail, pendalaman, mungkin ada emosi atau peristiwa yang tertinggal atau semacam itu.

Iya.

Bagaimana dengan puisi-puisi Anda, saya tidak akan membacakan sebuah puisi Lintang, tapi saya hanya memberikan gambaran bahwa betapa novelnya Lintang kaya dengan metafor-metafor yang sangat puitis. Saya akan bacakan secara cepat saja "Suhada memang selalu takut pada mendung yang selalu gusar di masa kecilnya meski sekarang ia melihat mendung inyit itu sudah tidak pandai lagi menjadi hujan". Saya pikir ini kalimat yang sangat indah dan apakah ini menjadikan ciri khas novel-novel Anda di masa mendatang juga?

Kita tidak pernah bisa menghindar dari ciri khas, ingin sekali. Tapi ciri khas itu mengalir begitu saja dan saya rasa, saya tidak sendiri dalam hal itu, semua tidak mungkin mudah menghindar dari ciri khas itu. Metafor itu tidak ada teorinya, tidak bisa dipelajari. Menurut saya, metafor itu lahir ketika kepekaan jiwa kita bekerja, seperti halnya kita menulis puisi dan puisi bagi saya adalah bahasa jiwa. Jadi bukan hanya seorang sastrawan atau budayawan saja yang bisa menulis puisi. Ketika manusia memakai bahasa jiwanya maka jauh dari manipulasi, kepalsuan, ketidakjujuran. Nah, saat seseorang atau manusia itu akan mengguratkan puisi dalam meluncurkan kata-katanya, saya percaya karena saya mengalaminya, "Ia telah meluncur ke dalam sebuah area diantara dirinya, pena, dan kertas itu" jadi area diantaranya itu jelas kosong, dia harus memilih sebuah objek, objek sebagian dari idiom itu, ada dialog tawar-menawar di dalamnya, misalnya apakah objek tentang Jogja itu patut atau tidak.

Apakah sebagian besar puisi Anda bercerita tentang alam?

Ya.

Saya tertarik sekali dengan kalimat bahasa jiwa. Apa maksudnya?

Kalau diglobalkan saya ingin sekali bahasa jiwa ini menjadi bahasa dunia atau bahasa nasional. Pasti kita tidak akan pernah terjadi peperangan dan segala macam.

Menurut Lintang, apakah kita memang miskin tentang bahasa jiwa itu?

Sepertinya ya. Kita banyak memanipulasinya. Kita lebih cenderung memakai bahasa pikiran kita, bukan memakai bahasa hati kita. Kita sering menipu diri kita sendiri hanya karena keinginan dan sebagainya. Tapi ketika kita menulis puisi, saya percaya betul dia tidak bisa. Tetapi jika ada seorang penulis puisi yang segera cepat menulisnya, melahirkan puisi dalam sehari, wah itu dia hebat. Yang terjadi adalah mungkin timbunan opini dan yang saya khawatirkan adalah absurd arahnya. Saya ingin bicara tentang proses penulisan itu. Ketika orang sudah menunjukkan sebuah objek untuk menjadikan sebuah idiom yang akan diungkapkan di dalam puisi, maka dia mau tidak mau harus tidak lagi menjadi dirinya. Itu yang paling penting. Jadi yang ada di area diantara itu yang saya katakan bahasa jiwanya sudah menuntut dirinya untuk "aku menjadi engkau". Engkau di sini adalah tanda petik bisa saja tsunami, bisa saja rasa cinta yang mengasah pada kepekaan, peristiwa Jogja saat ini, pemerintahan kita sekarang, kekrisisan jiwa, dan lain-lain.

Kalau Anda membuat semacam kategorisasi puisi-puisi atau mendefinisikan puisi-puisi yang lahir dari tangan Anda sendiri, apa sebagian besar temanya?

Bertemakan sosial. Yang jelas penulis, seniman, atau siapa pun kita manusia merupakan observator kehidupan dan pengamat kehidupan. Saya selalu percaya bahwa kita hadir di bumi ini observator sudah, peneliti sudah, pengamat sudah, siapa pun dia.

Seorang penyair, seorang novelis pastinya punya semacam tokoh yang dikagumi atau tokoh idola. Siapa tokoh yang dikagumi Lintang?

Saya kagum dengan Mas Bambang.

Siapakah Mas Bambang?

Suamiku.

Anda bergelut dalam bidang yang sama?

Dia itu guruku, teman, kekasih, sekaligus bersahabat. Suamiku adalah aktor, orang panggung sekali, terkadang dia juga lupa kalau saya seorang perempuan. Dia tidak suka saya cengeng menghadapi peristiwa demi peristiwa, jadi dia menganggap kadang-kadang dia adalah teman sejawat yang bisa memberi semangat "kamu bisa kok tidak ada kata tidak bisa, asal kamu mau".

Menurut dunia dalam berita sepertinya yang namanya Matahari di Atas Gilli ini adalah hadiah ulang tahun perkawinan. Bisa Anda sedikit menjelaskannya.

Ya, saat itu saya berulang tahun. Mas Bambang mengatakan kepada saya, "Saya akan memberikan kamu hadiah." Padahal waktu itu kalau boleh saya bilang kondisi ekonomi kita sangat minim sekali, lalu saya diajak pergi. Ketika dalam perjalanan, dia mengatakan akan memberikan saya hadiah sebuah pulau, dan saya tersentak bertanya dalam hati, "Hadiah sebuah pulau seperti konglomerat saja." Ternyata ketika kita sampai di pulau itu saya baru tahu inilah hadiah buat saya dan sampai sekarang hadiah itu masih sangat saya rasakan.

Lintang, pembaca juga ingin tahu sebenarnya background Anda yang unik sekali. Banyak keunikkan pada diri Anda tapi ini juga termasuk salah satu dari keunikkan itu. Saya melihat Anda awalnya menekuni arsitektur landscape Trisakti dan ASMI. Mengapa pendidikan Anda melompat-lompat dan apa yang membuat Anda berubah?

Ketika kecil saya ditanya sama orang tua saya, "Lintang, kamu mau jadi apa?" Saya tidak tahu dan ketika sudah besar pun saya tidak tahu mau jadi apa. Akhirnya saya coba ingin membahagiakan papa dan mama, karena keinginan papa saya masuk arsitektur dan kemudian saya coba. Setelah saya coba, saya tidak cocok di situ. Akhirnya saya mencoba untuk kerja. Ketika saya memutuskan ingin bekerja berarti saya harus masuk ASMI dulu. Saya juga pernah kerja di salah satu bank dan saya juga tidak cocok di situ. Jadi saya sangat memanjakan kata hati saya sendiri. Ketika saya tidak bisa, saya juga tidak akan memaksakan untuk melakukannya.

Tapi diantara masa-masa itu, apakah Anda sudah produktif untuk menulis?

Saya menulis sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dan karya-karya Anda yang dipublikasikan itu merekam semua kejadian Anda di SMP?

Ya, jelas mbak.

Apakah Anda selalu mengarsipkan semua dokumen-dokumen penting Anda?

Tidak. Saya meyakini bahwa semua yang terjadi di SMP itu adalah pembelajaran dan mungkin Insya Allah ini adalah sebuah pematangan.

Apa yang belum Anda capai dan apa yang menjadi cita-cita Anda di masa depan?

Saya ingin sekali berjajar dengan La Rose, saya kagum sekali dengan beliau.

Mengapa?

Dia penulis yang sangat luar biasa dan dia tetap berada di dunianya. Dia tidak pergi kemana-mana, Dia juga tidak pernah melucuti dirinya terutama keperempuanannya, tetapi dia tetap menulis. Dunia tulisan adalah dunia pilihannya di dalam sastra. Dia merasa dewasa dan saya ingin seperti itu.


2 orang yang kukagumi

WS Rendra & Bambang Sugianto

Seorang penyair, ia menajamkan matanya agar dapat membaca para pendahulunya dengan cara-cara tertentu. Saat ia merenung, ia menemukan sebuah puitika. Barangkali, tanpa metode demikian tak akan sanggup para penyair itu dapat melampaui yang ia kagumi

Kebun

Seharusnya tak ada kata lawan diantara kita. Kita tumbuh dari sebuah kebun yang sama dan menerima hujan, hangat sinar matahari dan menatap rembulan yang sama. Bila tembok-tembok menjulang bermunculan diantara kita, lantas ideologi-ideologi, masing-masing diantara kita berusaha dengan nada bergemuruh membenarkan diri. Mengapa? Mengapa kita merusak sendiri harmoni sosio-psikologis satu kebun kita? Pada sebuah malam yang tenang, kita perlu merenung bahwa kita memerlukan sebuah jembatan yang kekar meskipun tak besar namun sanggup mengantarkan kita keseberang dan berjabat tangan kembali dengan asal usul kita, sebuah kebun.