BENARKAH?



MEREKA ADALAH BAGIAN DARI KITA. LALU....?

Panglima Abio adalah gambar hidup ayahku

PERTAMA

Seperti ingin segera mengungkapkan rindu, aku bersama teman-teman segera menempuh perjalan panjang untuk menuju ke rumah Panglima Abio.

Panglima Abio adalah seorang pejuang di Kalimantan Barat. Ia memiliki keberanian yang sangat luar biasa pada saat perang pada masa konfrontasi dengan Malaysia dan saat Indonesia menghadapi Parako (Partai Komunis China di perbatasan Serawak). Panglima Abio bertugas di sekitar Entikong sampai Suruh Tembawang.

Sebagai veteran, rupanya tak lagi mendapat pensiun.

Namun, sebagai ”pahlawan”, sebagai teladan yang sejak muda mengobarkan nasionalisme, keadaan sepahit apapun dalam kenyataan hidup, ia tak pernah mengeluh. Bekas Kepala Desa Punti Tapou—saat ia muda—itu tak mengeluh untuk dirinya sendiri. ”Buat apa meminta. Rasanya Ema (Kakek) malu,” katanya. Ia selalu tertawa menghadapi kesulitan apapun, dengan wajahnya yang selalu memerah dipenuhi kebahagiaan.

Desa Punti Tapao, Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat, dimana Panglima Abio tinggal, adalah sebuah kampung yang dipenuhi babi, anjing, dan ayam yang berkeliaran di jalan-jalan, dengan prasarana desa yang jauh di bawah standar. Menuju ke sana, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki turun-naik gunung terjal, melewati jembatan yang hampir runtuh.

Saat bertemu dengannya, aku hampir menangis. Wajah dan senyumnya, mengingatkan seorang lelaki yang telah meninggal sepuluh tahun lalu, tanpa sepengetahuanku. Ayahku.

SEPATU LADANGKU BUATAN MALAYSIA

KEDUA
Sepanjang perjalan menuju ke rumah Panglima Abio, tanganku tak pernah lepas dari genggaman Mbak Cahya. Kami saling bergandengan, dan selalu mencari dataran jalan yang di tumbuhi rerumputan, agar tak tergelincir, karena sepanjang jalan sangat licin, akibat hujan yang mengguyur deras.

Namun, pemandangan yang mempesona di sekitarku seperti memberi semangat agar aku dapat meneruskan perjalanan.

Di sebuah warung, kami berhenti, dan aku membeli sepatu ladang, seperti yang di sarankan oleh banyak orang. Saat ngobrol di warung itu, diam-diam aku mencatat rak toko itu penuh dengan barang produksi Malaysia. Elpiji dalam tabung warna hijau-coklat ukuran 15 kilogram, air mineral, gula pasir, sepatu bot karet, berjenis minuman kaleng, sampai bir. Bahkan, helm motor dan sepatu ladang yang telah kupakai adalah buatan Malaysia.

Di depan warung, hujan mengguyur kian deras. Terlihat beberapa orang desa mulai pulang dari mencari nafkah di sungai atau membakar hutan untuk berladang. Mereka tersenyum ke arah saya, seolah ingin memberitahu bahwa hati mereka selalu ringan berada di pilihan hidup yang pelik, untuk tinggal di area perbatasan

Ainadilah

Ainadilah…
Disini embun dapat bercerita tentang perbincangan atap-atap rumah dan matahari esok pagi.
Panas sekali, ozon telah terkorupsi, begitu selalu bisiknya.
Embun itu dengan benar menceritakan tentang sekerat roti dimeja tuan besar, yang selalu merintih semalaman mengenang nasibnya, sebab basi tak tersentuh. Tetapi sekarung jagung disudut desa yang jauh barangkali lebih berarti didalam perut para petani.

Ainadilah…
Disini embun pun dapat bercerita tentang sekelompok bocah di tepi Aceh atau di sudut-sudut Jogja, bahkan di tengah-tengah lumpur panas Sidoarjo
Mereka bertanya, kemana ibu kami?

Kau tahu Ainadilah,
embun itu menjawab atas nama bumi yang seketika menjadi yatim piatu, bahwa ibu mereka telah menjelma menjadi kembang-kembang ungu yang menyalip awan-awan kelabu.

Ainadilah…
Dimanapun kau, tersenyumlah…
Sebab disini aku menyaksikan embun itu tak memiliki usia yang panjang.

Lintang Sugianto



Ia, Sulastri

Tak satupun mampu bersembunyi di pagi yang kelabu itu. Seorang ibu harus terjepit selama tiga hari tertindih reruntuhan dinding rumahnya, saat gempa G. Merapi. Ia tinggal di dusun yang jauh di kawasan Imogiri-Jogja, yang tak lagi memiliki siapapun. Seorang anak perempuan yang didalam pelukannya pun meninggal. Ia, sulastri.

Tuan Malaikat, ini Putri.....

Hari ini malaikat pencabut nyawa benar-benar sibuk
Seluruh catatan dan daftar telah ia hafal dengan sempurna
Sabitnya menebas-nebas dan ia tampak sempoyongan

Dalam tiga puluh menit semua tugas harus tuntas, ini perintah!
Ia mendengar amat takzim perintah itu
Maka ia tak berbelas
Maka ia menuntaskan
Maka ia menyabit segala

Dan sebuah kota telah menjadi sayu
Lempengan bumi dasar laut menggeliat
Ombak yang terlalu lama tak memuliki bahasa itupun bersatu dengan lumpur, memuncrat, mencoba dengan caranya untuk mengeluarkan segenap isi hatinya
Ia sedang berbicara
Ia sedang meraung

Ujung pulau negeri itu telah tersapu oleh gerlombang lautnya sendiri.
Kemegahan kota itupun menjadi masa lalu yang jauh
Hari ini pula seorang gadis kecil bermata merah dadu dengan tangan kanannya yang nyaris buntung, ia berusaha merangkak mendekati seorang janda setengah baya yang tubuhnya telah rusak.
Keduanya akibat tertindih terumbu karang yang dimuntahkan samudera
"Umi! Umi…, ini Putri! Mengapa kau tak bergerak?"


Belum genap ia menyapu air mata, ia menangkap bayangan berkelebat yang menyabit cepat di atas ubun-ubun perempuan itu
"Tuan…tuan, kau siapa?"


Dengan suara tetapi bukan suara, bayangan itupun menjawab,
"Aku malaikat, kau melihat rahasiaku?"
"Ya, Tuan! Tuan Malalaikat, ini Putri! Mengapa Umi tak bergerak?"

Malaikat tak menyahut, rupanya ia benar-benar sendang sibuk menyabit
Ribuan manusia menjerit
Mayat-mayat bergelimpangan
Ombak kian berteriak meninggi sepuluh meter
Segenap paru-paru tersedak lumpur
Segenap bangunan roboh
Segenapnya hanyut dan rata
Kota ini tak lagi tahu siapa si kaya dan siapakah yang tak kaya
Segenapnya menjadi serupa
Dan segenapnya berwajah sama

" Tuan, Tuan Malaikat…, tunggu…!"

Tetapi malaikat tetap sibuk, ia memang sedang memperhitungkan waktu
Ia tak ingin mendengar
Ia tak ingin lelap
Ia tak ingin lupa
Hingga ternak, hingga serangga, hingga rumput, dan pohon sekalipun, semuanya sesuai daftar, semuanya tak terlewatkan, dan semuanya dengan dingin ia tuntaskan
"Tuan Malaikat, tunggu! Mengapa Umiku tak bergerak?"
"Aku sedang melangsungkan tugas, manusia kecil"
"Berhentilah sejenak, Tuan! Lihatlah Umiku"
Ia menatap, kemudian suaranya yang bukan suara, terdengar berupa butiran-butiran lembut yang jatuh tetapi begitu bening
"Umimu pun bertugas, Putri…! Gempa itu tugas. Ombak itu tugas.
Gunung itu tugas dan lumpurpun bertugas"
"Kota ini?"

Malaikat pencabut nyawa itu, tiba-tiba tak bergeming
Layaknya sedang menimbang ia lama terdiam
Kedua matanya yang perak, tajam menatap lengan Putri yang terus mengucurkan darah

"Tuan, kota ini apa bertugas?"
"Manusia kecil, banyak tugas yang menjadi rahasia, sebuah rahasia yang kita tak boleh mengetahuinya, namun kita harus melaksanakannya. Sebentar lagi segera datang virus dan bakteri yang bertugas, lalat-lalat yang bertugas, dan belatung pun bertugas"
"Kumohon jawablah tentang kota ini, Tuan Malaikat?"
"Baiklah, manusia kecil, kota inipun bertugas"
"Kota ini Aceh, tuan. Mengapa selalu Aceh yang bertugas?"
"Dengar manusia kecil, tak banyak manusia berani bertugas untuk memilih Allah atau hidup di dunia. Tak banyak pula manusia memiliki tugas mencintai hasratnya sendiri untuk ke rumah Allah di atas cintanya kepada dunia. Dan kotamu ini memang sepetak taman bagimu, tetapi Aceh telah dibantu memilih bertugas"
"Tugas lagi?"
"Ya, tugas untuk membentuk barisan!"
"Barisan? Barisan apa, Tuan?"

Tetapi Malaikat segera membaca daftar dan dengan amat gesit ia menyabit kembali. Yang terjadi ialah jalan-jalan trotoar itu, masjid-masjid itu, lapangan itu, kota itu telah penuh anak-anak, penuh orang tua, penuh lelaki, penuh perempuan, semua penuh mayat

"Cukup! Cukup Tuan! Kumohon hentikan, hentikan, tuan!"
"Hey, waktuku hampir habis, sedangkan barusan belum terbentuk"
"Katakan padaku, barisan apa?"
"Barisan menuju rumah Allah, manusia kecil"
"Rumah Allah?"
"Yaa…"
"Apakah Umiku juga dalam barisan itu?"
"Tentu, manusia kecil"

Putri menelan ludah, ia tak lagi meringis kesakitan, ia justru menatap kembali seorang perempuan setengah baya yang terbujur kaku dan diam itu. Tetapi kedua matanya telah berubah serupa purnama yang merajai bulan.
"Umi, Umi ini Putri! Kata Tuan Malaikat, Umi akan berada dalam barisan itu! Kau terpilih Umi. Kau terpilih!"

Kemudian gadis kecil itu berteriak lantang.
"Tuan Malaikat! Tuan Malaikat, ini Putri! Aku keturunan
Cut Nyak! Akulah Aceh itu! Lihatlah dalam daftarmu, sabit aku...sabit aku…"

Hari ini, tepat tiga puluh menit untuk pertama kalinya malaikat itu tersenyum melihat sebuah nama pada daftar terakhir.
Ia menatap langit-langit, seorang anak kecil sedang berderap-derap memimpin barisan yang amat panjang.


Lintang Sugianto


lelaki di tepi buku tua

Di tepi buku tua
Lelaki memandang dan mengajariku mendirikan sebuah rumah

Wajahku memerah
Tubuhku kaku
Aku tak tidur semalaman
Tak berani pula aku memandang matanya yang perak
Dengan berani kukumpulkan kembang dari seluruh musim
Dan kupersembahkan kepadanya
Seperti awalnya
Aku gemetar dan berbisik
Hanya ini yang kupunya
Lelaki tersenyum dan menyuruhku agar segera membuat tiang, pintu dan jendela
Kemudian aku bertanya, dimana ruangannya
Dihatimu, jawabnya
Lantas lelaki menutup seluruh rambutku
Tersenyumlah agar angin tak datang mengusik, pintanya

Lelaki di tepi buku tua
Meletakkan aku sebagai perempuan di pangkuannya


Lintang Sugianto
4 : 38 - Bekasi, 25 Juni 2006

Dengarkan Mak....

Mak, seharusnya aku segera melupakan saja tentang mainan masa kecilku yang kau buang diparit gelap itu. Agar mudah aku menata mimpiku, agar angin yang menakutkan itu tak selalu singgah dikisi jendela menjelang tidurku. Tapi itu tak mungkin, ruangan ini tetap menjadi milikmu, sejak kau pasang pajangan dinding berwarna merah yang begitu menusuk mataku

Mana kuncinya, mak? Aku ingin keluar mencium embun didaun-daun. Disini gelap sekali, tak pula kau sediakan damar untuk sekedar melihat wajahku yang tentu telah menua sejak kau lahirkan. Aku meraba dinding ini, mak! Dan mana jendelanya? Kutempelkan saja telingaku dan aku tertawa girang ternyata aku bisa mendengar bahwa dunia penuh suara dan nyanyian-nyanyian, mengapa tak seperti yang engkau ceritakan?

Mak, disini ada seekor laba-laba yang mengajariku memintal waktu
Hingga aku lebih cerdas memastikan letak matahari yang tak pernah kulihat sinarnya. Kemudian kunang-kunang itu amat bersahaja mengumpulkan cahaya dan begitu sabar memanduku belajar menentukan arah.
Tetapi aku harus hidup, Mak
Aku butuh mataku
Aku butuh jiwa
Aku butuh, Mak

Lintang Sugianto
5 : 25 Bekasi, 25 Juni 2006

dan inilah.... KRONOLOGIS Matahari Di Atas Gilli

~ Lelaki berambut panjang ~

Sembilan tahun yang lalu, di bulan April yang cerah, seseorang lelaki berambut panjang mengajakku menyeberangi sebuah pulau – yang terletak di sebelah timur Kota Probolinggo. Dan siang itu – di hari ulang tahunku – aku mengalami sebuah pengalaman yang paling indah diantara seluruh memoar hidupku. Saat menyaksikan keleluasaan langit yang membentang di atas kepalaku, fantasiku bergerak sesuai kata hatiku, bahwa pulau itu pastilah bagian wilayah utopis yang abadi dengan keindahan dan kenyaman.
Diatas perahu, aku melihat wajah lelaki berambut panjang yang duduk membeku di sampingku, seperti sebuah muara yang dingin, tak bergeming memandang lautan luas, dan tanpa senyum. Namun demikian penyeberangan hari itu, membuatku bahagia.
Selama empat puluh lima menit terayun di atas gelombang ombak, perahu kayu mulai menepi dan bersandar di dermaga. Di hadapanku, membujur dataran pipih berwarna putih, dan hampir tak terdapati tumbuhan menghijau di sana. Gersang!
“Pulau apa ini?” tanyaku pada lelaki berambut panjang itu, sambil melompat dari perahu ke atas dermaga.“Gilli!” jawabnya singkat, tanpa memandang kearahku.
Keningku berkerut. Aku tak mengerti. Mengapa ia sangat berbeda hari ini? Pikirku, sambil setengah berlari berusaha mengejar lelaki itu yang berjalan cepat di depanku. Dan ketika aku berhasil menyamai langkahnya, aku menatap lelaki itu. Tetapi ia tetap beku. Ia justru melangkah lebih cepat dari yang kuduga, dan aku tak dapat lagi untuk menerjemahkan bahasa roman wajahnya yang asing pada siang yang terik ini. Dengan penuh pertanyaan, tak ada pilihan untukku, selain mengikuti langkahnya. Kenapa ia begitu dingin justru pada hari istimewa ini? Semestinya ia harus berlaku baik padaku! Aku mengangkat bahu, dan tak mengerti.
Di sisi kiri dermaga, diantara ombak yang berdeburan, aku melihat sebuah pemandangan yang menggetarkan. Aku terkesima. Sekelompok anak laki-laki menyembul keluar dari dalam lautan. Dan mereka berteriak kearahku.
“Hoooeee!!!”
Seketika langkahku berhenti. Aku terdiam. Aku terpana menyaksikan sejenis ikan besar yang masih menggelepar-gelepar di kedua tangan mereka masing-masing. Bagaimana cara mereka menangkapnya? Pikirku. Aku berniat berjalan mendekat ke arah mereka, tetapi dengan gerakan cepat, lelaki berambut panjang menarik tanganku, dan memintaku mengikuti langkahnya kembali. Tentu, itu merupakan sebuah sikap yan berlawanan dengan keinginanku. Aku pun mulai merasa terganggu dengan sikap lelaki berambut panjang itu yang tak seperti biasanya. Dan perubahan sikapnya yang asing itu justru muncul pada hari istimewaku. Uuh!
Sebelum menjauh, aku melambai dan memberi salam kepada sekelompok anak pantai itu. Aku bahagia, saat menangkap suara bening tawa mereka yang ramah. Aku sempat melihat gelombang heroik yang terdapat pada wajah mereka, saat mereka berlompatan kembali di udara, kemudian menghilang di pelukan ombak. Luar biasa! Pikirku.
Saat menapakkan kakiku yang pertama kalinya di daratan pulau kecil ini, aku bertanya kembali kepada lelaki berambut panjang itu.
“Apakah kau sudah pernah kemari, sebelum kehadiran kita sekarang?”
Dan tanpa mempedulikan pertanyaanku, lelaki itu justru berkata “Kau akan merasa senang tinggal di sini”
“Tinggal disini?” Tanyaku menatap tajam ke arah dirinya.
Lelaki itu mengangguk memastikan, sambil menatap dalam ke arahku. Dan makna tatapan itu, seakan-akan ia harapkan menjadi sebuah tonik yang secara otomatis dapat melegakan, dan menentramkan keraguan yang terpancar di mataku. Tetapi, rupanya, ia keliru! Aku menyimpulkan dengan agak enggan, aku justru mulai merasakan adanya penolakkan dari bagian tubuhku, ketika tercium hawa yodium yang bercampur dengan berbagai aroma: ikan, ganggan laut, pasir basah, dan keringat orang-orang yuang mulai berdatangan mengerumuni kami. Ini ide gila! Pikirku. Tanpa mempedulikan dirinya yang sedang berbicara dengan orang-orang Gilli, aku bertanya dengan suara keras.
“Aku tak tinggal di sini! Dan aku ingin kita pulang sebelum hari gelap” Aku sadar, pertanyaanku merupakan sebuah hal yang tak masuk akal. Karena kedatanganku di pulau ini, belum lebih dari dua jam yang lalu.
“Kita menginap!” jawabnya tegas. Aku mendengar intonasi suaranya yang kasar, pada wajahnya yang memerah. Aku hampir menangis, menerima keputusan yang sepihak itu. Dan aku semakin tahu, ia benar-benar tak peduli denganku. Ia meneruskan kembali pembicaraannya dengan orang-orang Gilli. Aku melihat mereka, terlibat dalam pembicaraan yang kian lama kian akrab. Meskipun ku tahu, mereka menggunakan bahasa tubuh yang menggelikan.
Untuk menghilang kekecewaanku, aku menjauh dari mereka, dan menyusuri pantai yang bersih. Pada saat itu, aku melihat sekelompok burung besar mengembangkan sayangnya. Leher mereka panjang, dan biru. Mereka membentuk formasi simetri, dan terbang rendah dari permukaan laut. Memandang jauh ke langit, aku memerlukan waktu sejenak demi sejenak untuk menerjemahkan keindahan pemandangan logis warna-warna yang tercoret di atas sana. Sore itu, warna-warna merah dadu, kuning, dan violet yang membias di langit, seperti sekumpulan zat warna yang sengaja di tuangkan di atas kanvas oleh pelukisnya.
Saat warna langit semakin menua oleh kegelapan, seorang lelaki – penduduk Gilli – mengajak kami meninggalkan tepian. Aku dan lelaki berambut panjang berjalan di belakang tubuh lelaki Gilli itu, tetapi di sekeliling kami sekelompok anak-anak, orang-orang dewasa mengikuti kami, dengan suara tawa dan pembincangan yang tak ku mengerti bahasanya. Tak seberapa lama setelah kami berjalan beriringan, tanpa aku sadari, aku telah berada di jalan sempit yang berliku-liku, diantara dinding rumah-rumah penduduk yang penuh dengan jala, yang membentang.
Sesampai di Ujung Pulau, kami berjalan beriringan menuju ke sebuah pondok yang atapnya berbentuk kerucut, yang penuh dengan rumbai-rumbai jerami kering. Di pondok itulah, orang-orang Gilli itu meninggalkan kami. Sesaat aku merasa lega, memandang ke sekeliling. Aku seperti berada di ruang terbuka dengan udara yang leluasa, setelah mengalami adaptasi yang mencemaskan dengan lingkungan baru: sebuah pengalaman asing di sepanjang hidupku. Salah satu yang paling sulit, pada kehadiranku di Pulau ini, ialah aku tak dapat bebas berbicara dengan bahasaku: yang seharusnya merupakan bahasa mereka pula. Mereka tak mengerti Bahasa Jndonesia, dan aku pun tak dapat mengerti bahasa mereka – Bahasa Madura. Tentu, itu sebuah hal yang menyedihkan di sepanjang pengetahuanku sebagai anak bangsa ini.
Pada saat malam datang, dan bulan membundar di balik pepohonan, pondok yang tempati serta suasana hatiku, tiba-tiba senyawa. Gelap, dan sunyi! Tak ada lampu penerangan yang bisa di nyalakan, selain damar kecil di sudut dinding. Tak ada pula perbincangan anatara diriku, dan lelaki berambut panjang itu. Sekian jam sejak kehadiranku di pulau ini, perasaanku telah membeku untuknya. Dan beberapa saat yang lalu, lelaki itu telah meninggalkan aku sendiri, di pondok ini. Aku kecewa!
Duduk sendirian memandangi bulan, perasaanku semakin nyeri. Dan aku, aku menjadi tak siap melewati dan mengakhiri hari ini: sebuah hari ulang yang menyeramkan, untukku. Terasing dari keramaian. Jauh dari orang-orang yang dekat dalam hidupku.
Malangnya, hingga malam semakin larut, aku melewati hari ulang tahun tanpa satupun orang yang memberi ucapan “selamat”. Aku berpikir, pastilah segera hilang saat-saat bahagia yang aku impikan terjadi, di hari ini.
Aku melihat semua pucuk-pucuk pohon akasia bergoyang, meliuk-liuk seperti hatiku. Disini, di pulau kecil ini, aku tidak seperti orang lain yang tahu secara instingtif bagaimana cara membuat diri sendiri bahagia. Aku benar tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga aku merasa seperti di kutuk oleh kuasa kesepian – untuk diam, dan tak bergerak. Betapa ironisnya hari ini, untukku! Pikirku. Dan selama berjam-jam aku memandang langit yang hitam, tanpa bintang. Terkadang suara binatang malam pun seperti menusuk perasaanku. Saat itu, aku merasa, seolah-olah aku sedang berada di planet lain, tanpa penghuni, dan tanpa manusia. Aku sendirian. Sambil memeluk tas punggungku, aku bertanya pada diriku sendiri: untuk apa aku harus hadir di pulau ini justru pada hari ulang tahunku ini? Dan mengapa aku harus menerima ajakan lelaki berambut panjang itu?
Saat angin berhembus kencang, dan terdengar ombak berdeburan di lautan, suasana di sekelilingku kian asing, dan menakutkan. Tak ada pilihan yang dapat menahan rasa emosionalku selain semakin membenamkan wajahku pada tas ransel, kemudian membebaskan perasaanku untuk menangis.
Entah berapa lama aku dalam posisi demikian, dan aku mengakhirinya dengan mengangkat wajahku, saat terdengar orang berkata-kata di kejauhan. Meskipun, aku ragu untuk memastikan pikiranku yang di penuhi pertanyaan, mengapa orang yang sedang berbicara itu, seolah berbicara sendiri dan berteriak-teriak di malam gelap. Di hadapanku, aku tak melihat apapun selain bayang-bayang malam yang kian rapat oleh kegelapan. Tetapi, mendadak mulutku terasa kering, dan jantungku berdebar kencang, ketika terlihat sebuah cahaya bergerak perlahan ke arah pondok, ke tempatku. Aku mulai ketakutan.
Semua terjadi dalam sekejab, dan aku merasa kengerian yang kurasakan mulai menyurut, tatkala aku semakin dapat memastikan bahwa suara pembicaraan orang itu semakin jelas. Dan dalam jarak yang tak jauh, aku mendengar intonasi setiap kata yang di ucapkan kian teratur, dan kian kukenali. Perlahan-lahan aku berdiri, ketika baying-bayang wajah seseorang di balik cahaya api itu semakin jelas. Dia, lelaki berambut panjang itu, memegang obor – api yang di sulut di bamboo – sambil berjalan dan membaca sebuah puisi.
Setelah ku tempuh perjalanan yang tak kukenal rimbanya
Air mata berbulu api, memang benar sedang menjadi hujan
Ada yang ingin kutahu
Bagaimanakah pohon istighfarku?
Sudah lama tak pernah kujaga
Rumbai-rumbai kesombongan sempoyongan di muka angin
Yang berkacak pinggang
Membuaku menunggu daun-daun yang jatuh
Bayarangkali di sana ada takdir
Yang ingin berucap salam
Apa kabar kekasih…
“Itu puisiku!” pekikku.
“Selamat hari ulang tahun, Lintang!” teriak lelaki berambut panjang itu, sangat dramatis. Tepat di depanku, ia merentangkan kedua tangannya. Seolah menungguku datang mendekatinya.
Aku tak dapat melukis secara pasti, apa yang ada didalam benakku. Tetapi menyaksikan senyumnya yang mengembang, di wajahnya yang memerah, aku merasakan, tubuhku seperti molusha – makhluk laut yang sangat rentan dan membutuhkan kerang tebal agar dapat berlindung dan tetap bertahan hidup. Dan di depanku, dialah kerang tebal itu. Aku pun berlari ke arahnya, dan menangis di dalam dadanya.
“Kenapa menangis?” tanyanya lembut.
Aku menggeleng, karena tak dapat menerjemahkan keharuan atas kejutan yang di lakukannya untukku pada hari ini.
“Kau tahu, aku telah lama mencari Pulau Gilli ini, sebagai hadiah ulang tahunmu” ucapnya, sambil mendongakkan wajahku.
“Hadiah?” tanyaku tak mengerti.
Lelaki berambut panjang itu mengangguk.
“Maksudmu?”
“Suatu saat nanti, kau akan tahu, Lintang”
Dan angin berhembus lembut di sekitar kami. Meskipun malam benar-benar berlalu, aku belum juga mengerti, mengapa ia menghadiahkan pulau ini untukku.

Bekasi, Lintang Sugianto