SEPATU LADANGKU BUATAN MALAYSIA

KEDUA
Sepanjang perjalan menuju ke rumah Panglima Abio, tanganku tak pernah lepas dari genggaman Mbak Cahya. Kami saling bergandengan, dan selalu mencari dataran jalan yang di tumbuhi rerumputan, agar tak tergelincir, karena sepanjang jalan sangat licin, akibat hujan yang mengguyur deras.

Namun, pemandangan yang mempesona di sekitarku seperti memberi semangat agar aku dapat meneruskan perjalanan.

Di sebuah warung, kami berhenti, dan aku membeli sepatu ladang, seperti yang di sarankan oleh banyak orang. Saat ngobrol di warung itu, diam-diam aku mencatat rak toko itu penuh dengan barang produksi Malaysia. Elpiji dalam tabung warna hijau-coklat ukuran 15 kilogram, air mineral, gula pasir, sepatu bot karet, berjenis minuman kaleng, sampai bir. Bahkan, helm motor dan sepatu ladang yang telah kupakai adalah buatan Malaysia.

Di depan warung, hujan mengguyur kian deras. Terlihat beberapa orang desa mulai pulang dari mencari nafkah di sungai atau membakar hutan untuk berladang. Mereka tersenyum ke arah saya, seolah ingin memberitahu bahwa hati mereka selalu ringan berada di pilihan hidup yang pelik, untuk tinggal di area perbatasan

No comments:

Post a Comment